Rabu, 10 Februari 2010

Islam, antara modernitas dan tradisionalitas

Pendahuluan

Ada satu opini umum yang mesti kita jernihkan sebelum kita membahas tema ini. Modernitas dan tradisionalitas seringkali dilihat dengan paradigma stratifikasi. Bahwa yang satu lebih baik dari yang lainnya. Modernitas lebih baik daripada tradisionalitas, dan tradisionalitas harus diganti dengan modernitas. Nampaknya tidak adil bila kita terbawa pada persepsi seperti itu. Jadi, mari merdekakan sejenak pikiran kita.

Islam, antara modernitas dan tradisonalitas sebenarnya berbicara tentang bagaimana ajaran Islam sebagai agama langit (samawi) dipersepsikan oleh manusia di bumi. Bagaimana manusia melihat Islam akan berdampak pada bagaimana sikap mereka terhadap ajaran Islam. Lebih lanjut, akan mempengaruhi bagaimana mereka berperilaku terhadap lingkungan sekitar mereka dan pada diri mereka sendiri.

Modernitas dan tradisionalitas adalah dua 'kondisi' yang menggejala pada saat seseorang melihat dan mempersepsikan sesuatu. Yang dimaksud adalah kondisi mental dan pola pikir, bukan aspek fisik. Gedung-gedung yang tinggi mencakar langit, alat telekomunikasi yang kian canggih, kendaraan hebat yang mempermudah mobilitas manusia, itu semua bukanlah modernitas. Sebagaimana juga ritual sedekah bumi, prosesi pernikahan adat, tari-tarian daerah, itu semua bukanlah tradisionalitas. Mereka semua adalah efek atau produk dari modernitas dan tradisionalitas, bukan modernitas dan tradisionalitas itu sendiri.

Dalam konteks agamapun demikian, masjid-masjid yang berdiri megah dengan teknologi tinggi, fatwa-fatwa kontemporer para ulama, metode-metode pendidikan pesantren yang semakin berkembang, itu juga hanya efek dari modernitas. Sebaliknya ritual-ritual keagamaan yang baku dikerjakan oleh semua umat Islam seperti yang tercantum dalam Rukun Islam hanyalah efek dari tradisionalitas. Lalu, apa sebenarnya definisi dari modernitas dan tradisionalitas?

Modernitas

“Sebenarnya secara garis besar modernitas bisa dipahami sebagai pengutamaan dan pemahaman tentang kesadaran sebagai suatu kekuatan tersendiri.” Demikian kata John Lechte1. Menarik, Lechte menyebut modernitas sebagai sesuatu yang menggejala dalam 'kesadaran'. 'Kesadaran', bukan suatu objek fisik dan kasat mata.

Tak jauh berbeda dengan Lechte, Mappadjantji Amien dalam bukunya Kemandirian Lokal, halaman 145, menulis “Modernitas adalah kerangka sosial budaya dan psikologis yang mendukung penerapan sains dalam proses produksi (hettne, 1990).” Meskipun definisi diatas dipakai dalam bahasan tentang industri namun substansinya masih sama.

Defini yang dirumuskan F. Budi hardiman mungkin definisi yang paling mudah kita pahami. “Dengan terang baru ini, modernisasi tampak sebagai peralihan, dari situasi yang lebih primer, partisipatif, determinatif, dan tertutup ke situasi yang lebih sekunder, distantif, kreatif, dan terbuka.”2

Ada juga yang berpandangan bahwa modernisasi tak lain adalah westernisasi. Ini dilatarbelakangi oleh anggapan sebagian sejarawan yang melihat bahwa modernisasi dimulai dari barat. Namun, setelah kita memahami apa sebenarnya inti modernitas, kita dapat melihat bahwa modernitas tak selalu westernisasi. Sesuai apa yang dikatakan Mappadjantji, “Dengan definisi ini maka modernisasi bukan lagi westernisasi, karena memberikan ruang pada pelembagaan nilai-nilai modern tanpa harus mengacu kepada satu pola tertentu.”3

Jadi, dapat disimpulkan bahwa modernitas adalah suatu sikap mental yang terbuka pada nilai-nilai dari luar dirinya dan menolak atau menerimanya atas dasar kesadaran dengan dasar manfaat. Orang yang modern akan menerima nilai-nilai dari luar yang bermanfaat bagi dirinya dan menolak nilai-nilai dari luar yang tidak bermanfaat bagi dirinya.

Tradisionalitas

Menurut Mircea Eliade, tradisi atau traditions berasal dari Bhasa Latin 'traditio'. Ia adalah derivasi dari bentuk kata kerja 'tradere' yang berarti 'penyerahan' atau 'penerusan'. Kemudian, dalam konteks pesantren, ia mendefinisikan tradisi pesantren sebagai komunitas pesantren yang meneruskan perilaku kyai yang otoriter (karena dirinya dianggap “suci”), santri yang terhegemonik oleh otoritas kyai, dan pembacaan kitab-kitab Islam klasik yang tekstual.4

Sementara Paul Ricoeur mendeskripsikan tradisionalitas sebagai sebuah dialektika antara “pengendapan” (sedimentation) dan “pembaharuan” (innovation). Deskripsi ini dihubungkan pada peranan tradisionalitas dalam dunia narasi fiksi tertentu. Dalam kategori ini, Ricoeur memperlihatkan bahwa tradisionalitas dipahami dalam pandangan lebih umum mengenai gaya formal yang meneruskan warisan masa lalu. Dalam konteks lebih luas, tradisionalitas didefinisikan sebagai kesemetaraan sejarah dengan maksud dialektika antara the effects of history upon us (with passively suffer) and our response to history (which we actively operate). Kata lain, tradisionalitas berarti “the temporal distance which separates us from the past is not a dead interval but a generative transmission of meaning”, (Jarak temporer yang memisahkan kita dengan masa lalu bukan merupakan inteval mati tetapi transmisi makna yang generatif).

Intinya, tradisionalitas adalah pewarisan nilai-nilai yang turun-temurun dalam suatu komunitas. Tradisionalitas adalah kondisi tertutup yang tidak meungkinkan nilai-nilai di luar komunitas itu masuk dan merubah sistem kehidupan mereka.

Timbul pertanyaan, apakah modernitas dan tradisionalitas dalam suatu komunitas ini berlangsung secara total? apakah memang ada suatu komunitas tradisional yang saklek dengan tradisinya dan tidak membuka peluang sama sekali bagi nilai-nilai baru dari luar? Dan apakah memang ada komunitas modern yang senantiasa bereksplorasi dengan hal-hal baru tanpa suatu tradisi yang diwariskan turun menurun sedikitpun? Nyatanya, Harsya W.B. menuliskan dalam bukunya bahwa modernitas dan tradisionalitas selalu ada dalam suatu kebudayaan yang mengalami perkembangan. Modernitas mendorong dinamika dan kreativitas dalam kehidupan. Adapun tradisionalitas memberikan kekokohan dan stabilitas kehidupan,..5

Dialektika Modernitas dan Tradisionalitas dalam Islam

Menarik untuk kita lihat bahwa pemberian garis batas zaman modern dan tradisional adalah sebuah konfrontasi antara kondisi masyarakat secara reel dengan dogma agama di sisi lain. Ketika Galileo mendeklarasikan bahwa Bumi itu bulat, sebagai hasil dari penelitiannya secara saintifik, ia dihukum mati oleh gereja. Karena gereja mengajarkan bahwa Bumi itu datar. Konfrontasi ini terus berlangsung sampai terjadinya Revolusi Inggris dan Revolusi Perancis. Revolusi Perancis menghancurkan tata nilai kehidupan masyarakat yang feodalistik.

Ada sebuah paragraf menarik yang saya nukil dari buku Fachrizal A. Halim;
Berman (1983) menunjukan adanya tiga tahapan khusus sejarah dalam perkembangan modernitas. Tahap pertama dimulai sejak awal abad ke-16 hingga di penghujung abad ke-18. Saat itu ditandai dengan adanya penegasan zaman modern sebagai zaman yang berbeda dengan sebelumnya. Tahap kedua dumilai sejak Revolusi Perancis dan timbulnya kekacauan dalam kehidupan sosial, politik, dan individu. Revolusi Perancis dberdampak pada rusaknya tatanan struktur masyarakat yang feodalistik. Sebagai tahap ketiga, Berman menunjukan adanya difusi global dari proses modernisasi yang lebih kompleks. Modernitas ternyata memunculkan kompleksitas masalah kehidupan yang kemudian memunculkan pengalaman baru6.

Namun, hal ini tidak terjadi di dunia Islam. Pada masa kekhalifahan Islam mulai dari kekhalifahan Umayyah sampai Kekhalifahan Abbasiyah yang terbentang selama dua ratus tahun, tidak dijumpai adanya konfrontasi antara asholah (kemurnian) Islam sebagai risalah yang diwariskan turun-temurun – yang menjadi contoh tradisionalitas – dengan para ilmuwan muslim yang bertualang dengan penelitian-penelitian ilmiahnya – sebagai cermin modernitas.

Apa sebabnya? dalam bukunya Pengantar Kajian Islam, Dr. Yusuf al-Qardhawy menguraikan tentang beberapa karakteristik Islam. Karakteristik itu antara lain ketuhanan (robbaniyah), manusiawi (insaniyah), komphrehensif (syaamil), pertengahan (wasathiyyah), dan – ini yang paling menarik penulis – perpaduan antara keteguhan prinsip (tsabat) dan fleksibilitas (murunah).

“Kita dapat menentukan aspek tsabat dan aspek murunah dalam syari'at islam dan risalahnya yang universal dan abadi, maka kita katakan:
Ia merupakan tsabat pada sasaran dan tujuan, murunah dalam sarana dan metode.
Tsabat pada prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah umum, murunah dalam hal-hal cabang dan parsial.
Tsabat pada nilai-nilai agama dan moral, murunah dalam masalah duniawi dan ilmiyah (ilmu pengetahuan)7

Dengan karakteristik ini Islam terus berkembang dengan dinamis dengan berbagai mazhab-mazhab fikih dan organisasi-organisasi yang berjalan dengan sistem masing-masing namun sama-sama berpedoman pada al Qur'an dan Sunnah. Kadang keluwesan Islam ini dimanfaatkan terlalu jauh sehingga muncul aliran-aliran yang kontroversial.

Dalam satu aliranpun terdapat bermacam-macam organisasi. Di Indonesia yang mayoritas adalah muslim Sunni, terdapat bermacam-macam organisasi masyarakat yang berbeda-beda. namun, mereka masih menisbatkan diri mereka pada akidah ahlu sunnah wal jama'ah. Jadi, Islam ternyat amemberikan ruang yang begitu luas bagi terjadinya modernitas pada pemeluknya namun tetap memberikan mereka landasan prinsip dalam perubahan. Ada fenomena modernitas pengemalan dalam tradisionalitas akidah.

Kesimpulan

Modernitas dan tradisionalitas dalam suatu komunitas tidak berjalan sendirian. Modernitas dan tradisionalitas ada dalam setiap komunitas baik itu komunitas yang berdasar letak geografis atau suatu keyakinan.

Dalam suatu komunitas, terkadang ada yang didominasi oleh modernitas dan ada juga yang dominasi oleh tradisionalitas.

Kemampuan suatu komunitas mendinamisasikan modernitas dan tradisionalitas ditentukan oleh kelenturan nilai-nilai dasar yang ada pada masyarakat itu dan sekuat apa mempertahankan asa-asasnya.
Islam memiliki kelenturan dan keteguhan pada saat yang bersamaan, sehingga melahirkan berbagai produk-produk pemikiran yang tetap berlandaskan al Qur'an dan Sunnah.